MITOS, PENALARAN, DAN PANGKAL
KELAHIRAN IPA
1.
Mitos
Menurut A. Comte, bahwa
dalam sejarah perkembangan manusia itu ada tiga tahap yaitu:
a. Tahap teologi atau tahap metafisika
b. Tahap filsafat
c. Tahap positif atau tahap ilmu
dalam tahap teologi atau metafisika,
manusia menyusun mitos atau dongeng untuk mengenal realita atau kenyataan yaitu
pengetahuan yang tidak objektif, melainkan subjektif. Mitos ini diciptakan
untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran mitos, rasio atau
penalaran belum terbentuk yang bekerja hanya daya khayal, intuisi atau
imajinasi.
Menurut C.A. Peursen mitos adalah suatu
cerita yang memberikan pedoman atau arah tertentu kepada sekelompok orang.
Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula diungkap melalui tari-tarian atau
pementasan wayang dan sebagainya. Inti cerita adalah lambang-lambang yang
mencetuskan pengalaman manusia kejahatan dan kebaikan; hidup dan kematian; dosa
dan penyucian; perkawinan dan kesuburan; firdaus dan akhirat. Pada tahap teologi
ini, manusia menemui identitas dirinya. Manusia sebagi subjek yang masih
terbuka dikelilingi objek yaitu alam, sehingga manusia mudah sekali dimasuki
daya dan kekuatan alam. Manusia belum mampu memandang objek atau realita dengan
indranya sehingga manusia dengan alam melebur menjadi satu. Lewat mitos,
manusia turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadianalam sekitarnya
dapat menanggapi daya kekuatan alam.
Contoh :
Gerhana
bulan disangka terjadi karena bulan dimakan oleh raksasa. Menurut mitos nya raksasa
tersebut takut pada bunyi-bunyian maka pada waktu gerhana bulan, manusia
memukul-mukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi supaya raksasa itu
takut dan memuntahkanya kembali bulan tersebut.
Demikianlah manusia pada tahap
mitos/teologi menjawab keingintahuanya dengan menciptakan dongeng atau mitos,
karena alam pikiran nya masih terbatas pada imajinasi dan intuisi.
2. penalaran deduktif
(Rasionalisme)
Dengan bertambah majunya alam pikiran
manusia dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan manusia dapat menjawab
banyak pertanyaan tanpa mitos. Dengan demikian mitos kurang disukai dan hanya
dipakai untuk memberi keterangan pada anak kecil,
Menurut A. Comte, dalam perkembangan
manusia sesudah tahap mitos, manusia berkembang pada tahap filsafat pada tahap
filsafat rasio telah terbentuk tetapi belum ditemukan metode berfikir secara
objektif. Rasio sudah mulai dioprasikan tetapi kurang objektif. Berbeda dengan
tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia mulai mencoba menggunkan
rasionya untuk memahami objek secara dangkal, tetapi objek belum dimasuki
secara metodologis yang definitif.
C.A. Peaursen dalam bukunya mengatakan
bahwa dalam mitos manusia terikat, manusia menerima keadaan sebagai takdir yang
harus diterima. Lama kelamaan manusia tidak mau terikat, maka manusia berusaha
mencari penyelesaian dengan rasio. Dalam pemikiran ini manusia sudah memisahkan
dirinya sehingga memandang alam dengan jarak terhadap dirinya. Manusia sebagai
subjek menempatkan dirinya diluar alam yang dijadikan objek.manusia tidak lagi
dilingkari atau dikurung oleh alam dengan segala kekuatannya, sehingga manusia
dapat menilai objek (alam) tanpa melebur dirinya dan memandang objek (alam)
lebih leluasa.
Dengan demikian penalaran deduktif ini
pertama-tama harus dimulai dengan pernyataan yang sudah pasti kebenarannya.
Aksioma dasar ini yang dibangun sebagai sistem pemikirannya, diturunkan atau
berasal dari idea yang menurut anggapannya jelas, tegas, dan pasti dalam
pemikiran manusia. Namun dalam kenyataannya, sering idea yang menurut seseorang
cukup jelas dan dapat dipercay, tidak dapat diterima oleh orang lain maslah
utama adalah sulit untuk menilai premis-premis yang digunakan. Ini disebapkan
karena penalaran yang digunakan bersifat abstrak, lepas dari pengalaman sehingga
tidak mungkin diamati oleh panca indra. Dengan penalaran deduktif ini dapat
diperoleh bermacam-macam ilmu pengetahuan mengenai suatu objek tertentu tanpa
ada kesepakatan yang diterima oleh semua pihak. Disamping itu juga terdapat
kesulita untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan peraktis.
3. Penalaran Induktif
(Empirisme)
Penalaran yang diperoleh bedasarkan
penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka muncul pandangan lain
yang bedasarkan pengalaman kongkrit. Mereka yang mengembangkan ilmu pengetahuan
bedasarkan pengalaman kongkrit disebut pengatu empirisme. Paham empirisme
menganggap bahwa pengetahuan yang benar diperoleh langsung dari pengalaman
kongkrit.
Penganut empirisme menyusun pengetahuan
dengan menggunakan penalaran induktif. Penalaran induktif adalah cara berfikir
dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat
khusus misalnya dalam pengamatan logam besi, tembaga, alumunium, dan
sebagainya. Jika dipanasi ternyata bertambah panjang disini disimpulkan bahwa
setiap logam jika dipanaskan akan bertambah panjang.
Namun demikian, ternyata pengetahuan
yang dikumpulkan bedasarkan penalaran induktif masih belum dapat diandalkan
kebenarannya. Sekumpulan fakta belum tentu bersifat konsisten. Demikian pula fakta
yang nampak berkitan belum dapat menjamin tersusunya pengetahuan yang
sistematis.
Ditambah lagi dengan kemampuan panca
indar yang kurang dapat diandalkan. Misalnya tongkat yang lurus jika direndam
kedalam air maka akan terlihat bengkok. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan penalaran deduktif tidak dapat diandalkan
karena bersifat abstrak dan lepas dari pengalaman. Demikiann pula pengetahuan
yang diperoleh hanya dengan penalara induktif juga tidak dapat diandalkan
karena kelemahan panca indra. Oleh karena itu, himpunan pengetahuan yang
diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan.
4. Pendekatan Ilmiah,
Kelahiran IPA
Agar himpunan ilmu pengetahuan itu dapat
disebut ilmu pengetahuan, harus digunakan perpaduan antara rasionalisme dan
empirisme yang dikenal dengan metode keilmuan atau pendekatan ilmiah.
Pengetahuan yang disusun dengan
pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan
penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dilaksanakan secara sistematis dan
terkontrol bedasarkan data-data empiris kesimpulan dari penelitian ini dapat
menghasilkan teori. Teori ini masih dapat diuji dalam keajegan dan
kemantapannya. Artinya bila mana diadakan penelitian ulang yang dilakukan oleh
siapapun dengan cara yang serupa dan pada kondisi yang sama akan diperoleh
hasil yang ajeg (konsisten). Metode pengetahuan itu bersifat objektif bebas
dari keyakinan, perasaan dan perasangka pribadi, serta bersifat terbuka artinya
dapat di uji ulang oleh siapa pun.
Secara lengkap dapat dikatakan suatu
himpunan pengetahuan dapat disebut 1PA bila mana memenuhi persyaratan berikut:
objek pengalamannya manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan
melalui metode keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar