Sabtu, 04 Juni 2016

MITOS, PENALARAN, DAN PANGKAL KELAHIRAN IPA

MITOS, PENALARAN, DAN PANGKAL KELAHIRAN IPA

1. Mitos 
 Menurut A. Comte, bahwa dalam sejarah perkembangan manusia itu ada tiga tahap yaitu:
    a. Tahap teologi atau tahap metafisika
    b. Tahap filsafat
     c. Tahap positif atau tahap ilmu
dalam tahap teologi atau metafisika, manusia menyusun mitos atau dongeng untuk mengenal realita atau kenyataan yaitu pengetahuan yang tidak objektif, melainkan subjektif. Mitos ini diciptakan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran mitos, rasio atau penalaran belum terbentuk yang bekerja hanya daya khayal, intuisi atau imajinasi.
Menurut C.A. Peursen mitos adalah suatu cerita yang memberikan pedoman atau arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula diungkap melalui tari-tarian atau pementasan wayang dan sebagainya. Inti cerita adalah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia kejahatan dan kebaikan; hidup dan kematian; dosa dan penyucian; perkawinan dan kesuburan; firdaus dan akhirat. Pada tahap teologi ini, manusia menemui identitas dirinya. Manusia sebagi subjek yang masih terbuka dikelilingi objek yaitu alam, sehingga manusia mudah sekali dimasuki daya dan kekuatan alam. Manusia belum mampu memandang objek atau realita dengan indranya sehingga manusia dengan alam melebur menjadi satu. Lewat mitos, manusia turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadianalam sekitarnya dapat menanggapi daya kekuatan alam.
Contoh :
Gerhana bulan disangka terjadi karena bulan dimakan oleh raksasa. Menurut mitos nya raksasa tersebut takut pada bunyi-bunyian maka pada waktu gerhana bulan, manusia memukul-mukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi supaya raksasa itu takut dan memuntahkanya kembali bulan tersebut.
Demikianlah manusia pada tahap mitos/teologi menjawab keingintahuanya dengan menciptakan dongeng atau mitos, karena alam pikiran nya masih terbatas pada imajinasi dan intuisi.

2. penalaran deduktif (Rasionalisme)
Dengan bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mitos. Dengan demikian mitos kurang disukai dan hanya dipakai untuk memberi keterangan pada anak kecil,
Menurut A. Comte, dalam perkembangan manusia sesudah tahap mitos, manusia berkembang pada tahap filsafat pada tahap filsafat rasio telah terbentuk tetapi belum ditemukan metode berfikir secara objektif. Rasio sudah mulai dioprasikan tetapi kurang objektif. Berbeda dengan tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia mulai mencoba menggunkan rasionya untuk memahami objek secara dangkal, tetapi objek belum dimasuki secara metodologis yang definitif.
C.A. Peaursen dalam bukunya mengatakan bahwa dalam mitos manusia terikat, manusia menerima keadaan sebagai takdir yang harus diterima. Lama kelamaan manusia tidak mau terikat, maka manusia berusaha mencari penyelesaian dengan rasio. Dalam pemikiran ini manusia sudah memisahkan dirinya sehingga memandang alam dengan jarak terhadap dirinya. Manusia sebagai subjek menempatkan dirinya diluar alam yang dijadikan objek.manusia tidak lagi dilingkari atau dikurung oleh alam dengan segala kekuatannya, sehingga manusia dapat menilai objek (alam) tanpa melebur dirinya dan memandang objek (alam) lebih leluasa.
Dengan demikian penalaran deduktif ini pertama-tama harus dimulai dengan pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Aksioma dasar ini yang dibangun sebagai sistem pemikirannya, diturunkan atau berasal dari idea yang menurut anggapannya jelas, tegas, dan pasti dalam pemikiran manusia. Namun dalam kenyataannya, sering idea yang menurut seseorang cukup jelas dan dapat dipercay, tidak dapat diterima oleh orang lain maslah utama adalah sulit untuk menilai premis-premis yang digunakan. Ini disebapkan karena penalaran yang digunakan bersifat abstrak, lepas dari pengalaman sehingga tidak mungkin diamati oleh panca indra. Dengan penalaran deduktif ini dapat diperoleh bermacam-macam ilmu pengetahuan mengenai suatu objek tertentu tanpa ada kesepakatan yang diterima oleh semua pihak. Disamping itu juga terdapat kesulita untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan peraktis.

3. Penalaran Induktif (Empirisme)    
Penalaran yang diperoleh bedasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka muncul pandangan lain yang bedasarkan pengalaman kongkrit. Mereka yang mengembangkan ilmu pengetahuan bedasarkan pengalaman kongkrit disebut pengatu empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar diperoleh langsung dari pengalaman kongkrit.
Penganut empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif. Penalaran induktif adalah cara berfikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus misalnya dalam pengamatan logam besi, tembaga, alumunium, dan sebagainya. Jika dipanasi ternyata bertambah panjang disini disimpulkan bahwa setiap logam jika dipanaskan akan bertambah panjang.
Namun demikian, ternyata pengetahuan yang dikumpulkan bedasarkan penalaran induktif masih belum dapat diandalkan kebenarannya. Sekumpulan fakta belum tentu bersifat konsisten. Demikian pula fakta yang nampak berkitan belum dapat menjamin tersusunya pengetahuan yang sistematis.
Ditambah lagi dengan kemampuan panca indar yang kurang dapat diandalkan. Misalnya tongkat yang lurus jika direndam kedalam air maka akan terlihat bengkok. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan penalaran deduktif tidak dapat diandalkan karena bersifat abstrak dan lepas dari pengalaman. Demikiann pula pengetahuan yang diperoleh hanya dengan penalara induktif juga tidak dapat diandalkan karena kelemahan panca indra. Oleh karena itu, himpunan pengetahuan yang diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan.

4. Pendekatan Ilmiah, Kelahiran IPA  
Agar himpunan ilmu pengetahuan itu dapat disebut ilmu pengetahuan, harus digunakan perpaduan antara rasionalisme dan empirisme yang dikenal dengan metode keilmuan atau pendekatan ilmiah.
Pengetahuan yang disusun dengan pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dilaksanakan secara sistematis dan terkontrol bedasarkan data-data empiris kesimpulan dari penelitian ini dapat menghasilkan teori. Teori ini masih dapat diuji dalam keajegan dan kemantapannya. Artinya bila mana diadakan penelitian ulang yang dilakukan oleh siapapun dengan cara yang serupa dan pada kondisi yang sama akan diperoleh hasil yang ajeg (konsisten). Metode pengetahuan itu bersifat objektif bebas dari keyakinan, perasaan dan perasangka pribadi, serta bersifat terbuka artinya dapat di uji ulang oleh siapa pun.
Secara lengkap dapat dikatakan suatu himpunan pengetahuan dapat disebut 1PA bila mana memenuhi persyaratan berikut: objek pengalamannya manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui metode keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar